Jumat, 29 November 2024 13:28:47 WIB

Para Akademisi: Pembangunan Tiongkok Memadukan Marxisme dengan Realitas dan Tradisi Nasional
Tiongkok

Eko Satrio Wibowo

banner

A.V. Lomanov, seorang profesor di Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia (CMG)

Tiongkok, Radio Bharata Online - Integrasi efektif Marxisme dengan kondisi nasional dan budaya tradisional Tiongkok menyediakan kerangka kerja bagi jalur pembangunan unik negara tersebut, menurut para akademisi Tiongkok dan Rusia.

Lebih dari satu setengah abad yang lalu, Karl Marx membayangkan jalur pembangunan melalui teorinya tentang materialisme historis yang akan diikuti oleh negara-negara seperti Tiongkok. Meskipun Marx tidak pernah mengunjungi Tiongkok, visinya telah memengaruhi evolusi sosial Tiongkok secara mendalam dan masih sangat erat kaitannya dengan realitas negara tersebut saat ini.

Xin Xiangyang, Presiden dan Wakil Sekretaris Akademi Marxisme dari Akademi Ilmu Sosial Tiongkok atau Chinese Academy of Social Sciences (CASS), menyoroti pandangan jauh ke depan filsuf besar itu mengenai jalur masa depan Tiongkok. Ia juga menekankan adaptasi teori Marx terhadap konteks sosial-politik Tiongkok dan proses lokalisasinya, yang telah memainkan peran penting dalam membentuk pembangunan sosial negara tersebut.

"Marx membayangkan perkembangan masyarakat Tiongkok dan kemajuannya yang berkelanjutan. Setelah Marxisme diperkenalkan di Tiongkok, kami tidak menolaknya seperti yang dilakukan beberapa daerah lain. Pada tahun 1939, Mao Zegdong menyatakan bahwa kondisi nasional kami adalah masyarakat semi-kolonial dan semi-feodal. Kami orang Tiongkok telah menghabiskan seratus tahun untuk memahami pernyataan ini dengan bantuan Marxisme. Partai Komunis Tiongkok telah memadukan prinsip-prinsip dasar Marxisme dengan kondisi aktual dan budaya tradisional Tiongkok sehingga mencapai masa depan sosialis yang diprediksi Marx untuk perkembangan sosial Tiongkok," jelas Xin.

A.V. Lomanov, seorang profesor di Akademi Ilmu Pengetahuan Rusia, mengatakan bahwa Tiongkok telah berhasil memadukan Marxisme dengan budaya tradisionalnya, sesuatu yang gagal dicapai oleh Uni Soviet.

"Uni Soviet dan Tiongkok sama-sama menerapkan 'kombinasi pertama' dengan mengadaptasi prinsip-prinsip dasar Marxisme dengan kondisi khusus negara mereka. Namun, Tiongkok telah memelopori 'kombinasi kedua' (dengan memadukan prinsip-prinsip dasar Marxisme dengan budaya tradisionalnya). Salah satu kelemahan Uni Soviet adalah tidak adanya 'kombinasi kedua' ini," kata akademisi Rusia tersebut.

Dalam pandangan Xin, baik Marxisme maupun cita-cita tradisional Tiongkok memiliki nilai-nilai yang sama, yang menekankan kesejahteraan kolektif, kesetaraan sosial, dan tujuan masyarakat yang harmonis.

"Kami, warga Tiongkok, memiliki cita-cita 'Harmoni Besar' dan 'dunia untuk semua'. Selama ribuan tahun, warga Tiongkok telah berjuang untuk 'Harmoni Besar', yang memiliki banyak kesamaan dengan komunisme yang dibayangkan oleh Marx," kata Xin.

Komentar

Berita Lainnya